Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Jangan Tangisi Kematian Ku

 :: Perpustakaan :: MySide

Go down

penting Jangan Tangisi Kematian Ku

Post by doctorslump Sat Sep 01, 2007 9:48 am

Kita dilahirkan di tengah-tengah labirin dengan seribu kelokan
yang dibuat dengan satu tujuan,
yaitu menyesatkan kita,
Condillac, 1715-1780).



Mengapa kita mesti
tertawa gembira ketika melihat seorang bayi terlahir ke dunia. Padahal
pada saat itu sang bayi sedang menangis keras? Mengapa kita mesti
meneteskan air mata dan menyimpan kesedihan berlama-lama ketika
seseorang meninggal dunia, padahal ada senyum di bibirnya, ada
kedamaian dan ketenangan dari wajahnya. Bagiku ini aneh, dan lebih aneh lagi karena fakta ini telah menjadi kebiasaan manusia. ****Kita
sebenarnya hanya tahu kalau kelahiran adalah sebuah hadiah. Bahwa
sesuatu yang baru telah lahir dan hadir di tengah kita. Lantaran itu
kita menyambutnya dengan gembira. Demikian juga dengan kematian
orang yang dekat dengan kita. Kita merasakan kehilangan, lantas
ketidakrelaan kita diganti dengan air mata dan kesedihan yang
berlarut-larut. Tetapi marilah kita mencoba untuk "menjadi"
mereka. "menjadi" seorang bayi yang baru dilahirkan dan atau "menjadi"
seseorang yang telah meninggal dunia. "Menjadi" yang
kumaksudkan di sini bukan harus dilahirkan kembali atau harus mati.
Tetapi ini adalah persoalan reflektif, cobalah kita bertanya dalam hati
kita, mengapa setiap bayi yang baru dilahirkan harus menangis. Mengapa
dan apa yang sedang ia tangisi? Dan apa yang sedang diheningkan oleh
orang yang telah meninggal dunia, apa yang sedang dialami dalam
kematiannya? Dua pertanyaan ini yang hendak kujawab dalam
tulisan kecil ini. Tulisan ini merupakan sebuah refleksi atas fakta,
sebuah kebiasaan yang bagiku tidak harus bisa dibiasakan.
***Kita
dilahirkan di tengah-tengah labirin dengan seribu kelokan yang dibuat
dengan satu tujuan, yaitu menyesatkan kita, demikian kata Etienne
Bonnot de Condillac (1715-1780). Meminjam istilah Albert Camus dunia
ini tampaknya absurd. Kita dipaksakan untuk terjun di dalamnya, lantas
menjadi pelaku utama di dalam kehidupan itu sendiri.Lantaran
itu, tangisan bayi adalah sebuah pertanyaan. Ia bertanya tentang
kehidupannya, riwayatnya, dan masa depannya. Tangisan bayi menandakan
awal sebuah kesanggupan untuk mengarungi samudera kehidupan ini, sebuah
pengembaraan yang singkat tapi penuh daya juang. Tangisan bayi itu
dapat berbunyi demikian: dapatkah aku mengarungi kehidupan ini?Persis
ketika bayi dilahirkan ke dunia, pada saat itu ia menjadi orang lain.
Ia menjadi pribadi yang otonom dan individu yang bebas. Kurang lebih
sembilan bulan dalam rahim ibu adalah persiapan baginya untuk menjadi
"orang asing" di dunia ini. Lantaran itu ia menangis, dapatkah aku
berlalu dalam kesendirian dalam kehidupan yang tanpa arah ini? Padahal
aku tidak tahu ke mana aku harus pergi kata Didorat.Saya tidak
sedang mengajak kita semua untuk menangis bersama sang bayi. Tetapi
kita hendaknya diam dan mengheningkan diri. Pertanyaan buat kita di
saat kelahiran seorang bayi adalah "apa yang mesti aku berikan untuk
mendukung perjuangan hidup sang bayi sekarang dan kelak?" atau
"mampukah saya menjadi satu bagian dalam perjuangannya?"
***Kematian
manusia adalah sebuah jawaban. Disebut jawaban karena ada pembebesan
dari keterbatasan hidup dalam kehidupannya. Keterlemparan kita dalam
kehidupan adalah sebuah proses untuk menemukan hakikat kehidupan itu
sendiri. Di sana kita dibenturkan dengan berbagai kepentingan dan
kehendak baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar diri
(orang lain dan lingkungan). Tubuh tidak hanya menjadi tua
renta tetapi juga menjadi tampak lelah. Kehidupan adalah sebuah
pertanyaan dan pengembaraan kita adalah upaya untuk menemukan jawaban
tersebut. Jawaban sementara kita adalah angan dan cita-cta kita yang
berhasil diraih. Tetapi kesempurnaan dalam kehidupan tak akan pernah
diraih, karena kehidupan mencirikan sebuah paradoks besar, antara
kesempurnaan sebuah jawaban dan keterbatasan upaya pencapaian. Kesempurnaan
jawaban manusia adalah kematian itu sendiri. Tarikan napas yang tampak
seperti lelah menjelang kematian adalah kelegaan bahwa sebentar lagi ia
akan bebas. Kematian adalah pembebasan itu sendiri. Diamnya dan
sunyinya adalah pelepasan atas belenggu dunia. Entahlah..mungkin di
sana ada kehidupan baru, dan jika ada maka paradoks baru pun pasti akan
ada juga. Tapi jika tidak maka kematian adalah akhir dari segalanya.
Lantaran itu mengapa kita harus menangisi sebuah kebebesan yang digapai
manusia.
***Argumentasi ini masih
menganga lebar untuk diperdebatkan. Tapi bagiku sudah cukup ketika aku
melontarkannya. Aku hanya beranggap mestinya kita tidak terbawa arus
pada setiap kemapanan yang mungkin saja perlu dijernihkan lagi dalam
ruang refleksi kita. Kekeliruan paling besar kita di hadapan kebiasaan
adalah menerimanya tanpa bertanya, padahal kehidupan itu sendiri adalah
sebuah pertanyaan. Sebelum kesempurnaan sebuah jawaban aku
peroleh, izinkan aku menarik perhatian anda semua bahwa kematiaanku
hendaknya disambut dengan senyum tawa. Sebagian dari anda sudah
terlambat bertanya bersamaku dalam kehidupan ini, lantaran itu di akhir
hidupku anda semua kuundang untuk berdiri di sekitar liang kuburku,
ketika itu tersenyum bila perlu tertawalah dengan penuh rasa simpatik
bagiku. Aku sudah bebas.

Source :wikimu.com
doctorslump
doctorslump
..:: Play Group ::..
..:: Play Group ::..

Male
Jumlah posting : 29
Age : 39
Lokasi : Never land
Mood : Bubu,makan,bubu,makan
Registration date : 23.08.07

http://nai.php1h.com

Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas


 :: Perpustakaan :: MySide

 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik