I Love U Seniorita
:: Perpustakaan :: MySide :: Chicken Soup
Halaman 1 dari 1
I Love U Seniorita
Pagi yang cerah, matahari keluar dari peraduan dengan
memancarkan cahaya emasnya, untuk menerangi jagad raya. Kicau burung yang
bernyanyi riang, bertengger dan beterbangan di sekitar hutan jati. Di antara
anak-anak sekolah yang bersepeda dengan berbagai atribut dan seragam yang
berbeda.
Sinta mengayuh
sepedanya dengan santai. Hari ini tidak seperti biasanya, gadis manis berambut
sebahu ini berangkat sendiri. Rupanya, Rima, salah satu sahabat karibnya, yang
biasanya berangkat bersama-sama dengan dirinya, sudah jalan lebih dulu karena
ada jadwal piket kelas.
Meskipun begitu
Sinta nggak sendirian, banyak anak-anak sekolah lain berangkat bareng dengan
dirinya. Yah, walaupun ia sendiri tidak begitu kenal dengan mereka.
Sinta menepikan
sepedanya ketika tiba-tiba di sampingnya ada cowok yang sengaja menjajari
sepedanya.
“Sendirian?” tanya
cowok itu.
“Ya,” jawab Sinta
pendek.
Nggak banyak
obrolan yang keluar dari mulut mereka. Sepanjang perjalanan terlihat Sinta
lebih banyak diam. Sepintas cowok yang berada di sampingnya, mengingatkan Sinta
pada seseorang yang pernah dekat dengan dirinya.
“Sebentar lagi aku
sampai di sekolah,” Sinta seperti memberitahukan. Cowok itu menanggapinya
dengan senyum dan anggukan pelan. Sinta terkejut ketika cowok itu sama-sama
membelokkan sepedanya memasuki gerbang sekolah.
“Oh, ternyata kita satu sekolah toh?” Sinta baru ngeh. Si
cowok mengangguk.
“Kenapa nggak
bilang dari tadi?” Sinta merasa nggak enak. Kembali cowok itu cuma tersenyum.
Selama ini Sinta tak menyadari kalau cowok itu juga sering bareng berangkat ke
sekolahnya. Tapi karena terlalu asyik ngobrol dengan Rima, membuat dia jarang
memperhatikan sesama pemakai jalan lainnya.
Begitu memasuki
garasi sekolah tempat dirinya menitipkan sepeda, tampak cowok itu asyik ngobrol
dengan temannya.
“Duluan ya…!”
pamit Sinta dari kejauhan. Si cowok cuma mengangguk dan melambaikan tangannya.
Tak lama kemudian, cowok itu pun melangkah pergi menuju kelasnya yang ternyata
berseberangan dengan kelas Sinta.
Begitu sampai di ruang
kelas, Sinta langsung menuju tempat duduknya yang terletak di deretan depan,
dekat meja guru. Pikiran Sinta masih tertuju pada cowok yang barusan
ditemuinya. Kenapa tadi aku lupa tanya namanya ya, Sinta menepuk jidatnya.
Entahlah, kenapa ada desiran aneh yang dia rasakan ketika pertama bertemu
dengannya.
“Nah, loh… mulai
deh, ngelamun,” Rima membuyarkan lamunan Sinta.
“Tadi aku ketemu
sama cowok,” Sinta masih agak ragu untuk cerita sama Rima.
“Terus…” Rima
nggak ngerti.
“Sssst, jangan
keras-keras… ntar ada yang denger!” Sinta meletakkan telunjuknya di depan
bibirnya.
“Emang kenapa?”
Rima sedikit memelankan suaranya.
“Wajah cowok itu
mirip banget dengan seseorang.” Sinta melanjutkan ceritanya lagi.
“Maksud kamu
Nico?” Rima menebak-nebak. Sinta mengangguk, mengiyakan.
“Yang jelas itu
bukan Nico. Tapi kenapa bisa mirip banget ya?” tanya Sinta seperti ditujukan
pada dirinya sendiri. Seantero sekolah ini tahu kalau Nico adalah pacar Sinta.
Belum lama mereka jadian, Nico lulus dari sekolah ini dan hubungan mereka pun
tak ada kelanjutannya lagi.
memancarkan cahaya emasnya, untuk menerangi jagad raya. Kicau burung yang
bernyanyi riang, bertengger dan beterbangan di sekitar hutan jati. Di antara
anak-anak sekolah yang bersepeda dengan berbagai atribut dan seragam yang
berbeda.
Sinta mengayuh
sepedanya dengan santai. Hari ini tidak seperti biasanya, gadis manis berambut
sebahu ini berangkat sendiri. Rupanya, Rima, salah satu sahabat karibnya, yang
biasanya berangkat bersama-sama dengan dirinya, sudah jalan lebih dulu karena
ada jadwal piket kelas.
Meskipun begitu
Sinta nggak sendirian, banyak anak-anak sekolah lain berangkat bareng dengan
dirinya. Yah, walaupun ia sendiri tidak begitu kenal dengan mereka.
Sinta menepikan
sepedanya ketika tiba-tiba di sampingnya ada cowok yang sengaja menjajari
sepedanya.
“Sendirian?” tanya
cowok itu.
“Ya,” jawab Sinta
pendek.
Nggak banyak
obrolan yang keluar dari mulut mereka. Sepanjang perjalanan terlihat Sinta
lebih banyak diam. Sepintas cowok yang berada di sampingnya, mengingatkan Sinta
pada seseorang yang pernah dekat dengan dirinya.
“Sebentar lagi aku
sampai di sekolah,” Sinta seperti memberitahukan. Cowok itu menanggapinya
dengan senyum dan anggukan pelan. Sinta terkejut ketika cowok itu sama-sama
membelokkan sepedanya memasuki gerbang sekolah.
“Oh, ternyata kita satu sekolah toh?” Sinta baru ngeh. Si
cowok mengangguk.
“Kenapa nggak
bilang dari tadi?” Sinta merasa nggak enak. Kembali cowok itu cuma tersenyum.
Selama ini Sinta tak menyadari kalau cowok itu juga sering bareng berangkat ke
sekolahnya. Tapi karena terlalu asyik ngobrol dengan Rima, membuat dia jarang
memperhatikan sesama pemakai jalan lainnya.
Begitu memasuki
garasi sekolah tempat dirinya menitipkan sepeda, tampak cowok itu asyik ngobrol
dengan temannya.
“Duluan ya…!”
pamit Sinta dari kejauhan. Si cowok cuma mengangguk dan melambaikan tangannya.
Tak lama kemudian, cowok itu pun melangkah pergi menuju kelasnya yang ternyata
berseberangan dengan kelas Sinta.
Begitu sampai di ruang
kelas, Sinta langsung menuju tempat duduknya yang terletak di deretan depan,
dekat meja guru. Pikiran Sinta masih tertuju pada cowok yang barusan
ditemuinya. Kenapa tadi aku lupa tanya namanya ya, Sinta menepuk jidatnya.
Entahlah, kenapa ada desiran aneh yang dia rasakan ketika pertama bertemu
dengannya.
“Nah, loh… mulai
deh, ngelamun,” Rima membuyarkan lamunan Sinta.
“Tadi aku ketemu
sama cowok,” Sinta masih agak ragu untuk cerita sama Rima.
“Terus…” Rima
nggak ngerti.
“Sssst, jangan
keras-keras… ntar ada yang denger!” Sinta meletakkan telunjuknya di depan
bibirnya.
“Emang kenapa?”
Rima sedikit memelankan suaranya.
“Wajah cowok itu
mirip banget dengan seseorang.” Sinta melanjutkan ceritanya lagi.
“Maksud kamu
Nico?” Rima menebak-nebak. Sinta mengangguk, mengiyakan.
“Yang jelas itu
bukan Nico. Tapi kenapa bisa mirip banget ya?” tanya Sinta seperti ditujukan
pada dirinya sendiri. Seantero sekolah ini tahu kalau Nico adalah pacar Sinta.
Belum lama mereka jadian, Nico lulus dari sekolah ini dan hubungan mereka pun
tak ada kelanjutannya lagi.
Re: I Love U Seniorita
Jam istirahat nanti, Pak Budi memanggil Sinta ke ruang
guru, ada hal penting yang mau dibicarakan, katanya. Dia dipercaya mengurus
Persami untuk murid kelas satu dan dua, minggu ini. Sinta sedikit bergegas
menuju ruang guru. Jam istirahat seperti ini banyak anak-anak murid yang sedang
duduk bercengkerama di teras kelas dan hampir sebagian siswa sekolah ini juga
lebih memilih pergi ke kantin. Sayangnya siswa-siswa itu sangat jarang berminat
untuk memilih meramaikan ruang perpustakaan.
Deg…!! Jantung
Sinta berdegup kencang ketika harus melewati kelas 2F. Ada cowok yang tadi pagi berangkat bareng
dengannya. Aduh bagaimana ini? Sorot mata itu, tak berani Sinta menatapnya.
Untung saja ada Rita yang tiba-tiba sudah merangkul bahunya dari belakang.
“Sinta, where are
you going?” tanya Rita mengagetkan.
“Hai Rita. Mau
ketemu Pak Budi. Mau nemenin?” ajak Sinta.
“Emangnya, Rima ke
mana?” Ya, Rima memang selalu bersamanya.
“Dia lagi cari
buku untuk tugas Fisika, jam terakhir nanti.”
“Well, okay. But I
have to tell my cousin first. Wait for me, okay?” Sinta mengangguk. Nggak
sampai semenit, Rita kembali dan mereka melangkah menuju ruang guru.
“Memang kamu punya
saudara yang sekolah di sini?” tanya Sinta.
“Yup! Dia pindahan
dari Bali. Baru seminggu lebih di sini,“ kata
Rita. “Ayo, aku kenalin sama orangnya!” Rita menggandeng tangan Sinta sambil
melambaikan tangannya ke arah seorang cowok.
“Brian, sini!”
Rita memanggil cowok yang disebut sepupunya itu. Brian? Cowok itu? Cowok yang
mirip Nico itu sepupu Rita?
“Hi, Girls! What’s
up? Rita, I’m sorry, I’m in a rush. So, ngomongnya buruan ya!” kata Brian.
“No, it’s okay.
Aku cuma mau ngenalin kamu ke Sinta. Sinta, meet my cousin, Brian.” Mereka
berjabat tangan. “Mirip Nico,
kan?” sambung Rita, Sinta
menyenggol lengan Rita.
Matahari tepat bertengger di atas kepala, ketika rombongan
sudah sampai di tempat tujuan. Desir angin pantai memberi kesejukan tersendiri
di hati para siswa. Mereka langsung tanggap dan sigap mendirikan tenda-tenda,
sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
Berbagai kegiatan
di acara Persami ini cukup padat. Sore ini akan terlebih dahulu diadakan
pelantikan pengurus organisasi pencinta alam yang baru. Setelah beberapa
kandidat dicalonkan, akhirnya proses pemungutan suara pun dilaksanakan secara
teratur. Dan dari hasil pemungutan suara, Sinta tak menyangka kalau posisi
ketua yang selama ini disandangnya, ternyata akan diserahterimakan kepada
Brian. Ya, Brian yang wajahnya mirip dengan Nico itu. Meskipun baru beberapa
hari mengenalnya tapi sepintas Sinta bisa menilai kalau Brian dapat menerima
tanggung jawab ini dengan baik.
Malam harinya,
serah terima jabatan antara ketua yang lama dengan ketua yang baru pun
dilaksanakan. Semua rangkaian acara berjalan dengan sangat baik. Ada perasaan aneh yang
tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, ketika Sinta berdiri tepat di samping
Brian. Jarak mereka yang begitu dekat seperti mempertemukan dua magnet yang
berbeda, sehingga ada daya tarik-menarik dalam diri masing-masing.
Dari pertama kali
masuk sekolah ini, Brian sudah banyak mendengar sepak terjang Sinta di sekolah.
Selain cantik dan berbakat di bidang seni dan olahraga, dia juga jago soal
pelajaran. Wajar, Sinta jadi kebanggaan sekolah ini.
“Selamat ya,
semoga tugas berat ini sanggup kamu laksanakan dengan baik,” Sinta menjabat
tangan Brian.
“Terima kasih,”
hanya itu yang bisa keluar dari mulut Brian. Tentu saja ditambah dengan
senyuman termanisnya, untuk cewek yang selama ini jadi lakon dalam mimpi-mimpi
indahnya.
Malam ini, semua
siswa harus benar-benar istirahat, hal ini untuk persiapan fisik dan mental
mereka, mengikuti rangkaian acara esok harinya. Tapi toh ada juga yang
melanggar kesepakatan yang sudah ditentukan. Terutama anak-anak cowok yang
lebih memilih menghabiskan malam di tepi pantai.
Sinta dan Ardi
yang mengetahui hal ini, sepakat untuk memberikan sanksi pada beberapa anak
laki-laki, yang tidak patuh pada peraturan yang berlaku. Akan ada kejutan untuk
para juniornya besok.
guru, ada hal penting yang mau dibicarakan, katanya. Dia dipercaya mengurus
Persami untuk murid kelas satu dan dua, minggu ini. Sinta sedikit bergegas
menuju ruang guru. Jam istirahat seperti ini banyak anak-anak murid yang sedang
duduk bercengkerama di teras kelas dan hampir sebagian siswa sekolah ini juga
lebih memilih pergi ke kantin. Sayangnya siswa-siswa itu sangat jarang berminat
untuk memilih meramaikan ruang perpustakaan.
Deg…!! Jantung
Sinta berdegup kencang ketika harus melewati kelas 2F. Ada cowok yang tadi pagi berangkat bareng
dengannya. Aduh bagaimana ini? Sorot mata itu, tak berani Sinta menatapnya.
Untung saja ada Rita yang tiba-tiba sudah merangkul bahunya dari belakang.
“Sinta, where are
you going?” tanya Rita mengagetkan.
“Hai Rita. Mau
ketemu Pak Budi. Mau nemenin?” ajak Sinta.
“Emangnya, Rima ke
mana?” Ya, Rima memang selalu bersamanya.
“Dia lagi cari
buku untuk tugas Fisika, jam terakhir nanti.”
“Well, okay. But I
have to tell my cousin first. Wait for me, okay?” Sinta mengangguk. Nggak
sampai semenit, Rita kembali dan mereka melangkah menuju ruang guru.
“Memang kamu punya
saudara yang sekolah di sini?” tanya Sinta.
“Yup! Dia pindahan
dari Bali. Baru seminggu lebih di sini,“ kata
Rita. “Ayo, aku kenalin sama orangnya!” Rita menggandeng tangan Sinta sambil
melambaikan tangannya ke arah seorang cowok.
“Brian, sini!”
Rita memanggil cowok yang disebut sepupunya itu. Brian? Cowok itu? Cowok yang
mirip Nico itu sepupu Rita?
“Hi, Girls! What’s
up? Rita, I’m sorry, I’m in a rush. So, ngomongnya buruan ya!” kata Brian.
“No, it’s okay.
Aku cuma mau ngenalin kamu ke Sinta. Sinta, meet my cousin, Brian.” Mereka
berjabat tangan. “Mirip Nico,
kan?” sambung Rita, Sinta
menyenggol lengan Rita.
Matahari tepat bertengger di atas kepala, ketika rombongan
sudah sampai di tempat tujuan. Desir angin pantai memberi kesejukan tersendiri
di hati para siswa. Mereka langsung tanggap dan sigap mendirikan tenda-tenda,
sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
Berbagai kegiatan
di acara Persami ini cukup padat. Sore ini akan terlebih dahulu diadakan
pelantikan pengurus organisasi pencinta alam yang baru. Setelah beberapa
kandidat dicalonkan, akhirnya proses pemungutan suara pun dilaksanakan secara
teratur. Dan dari hasil pemungutan suara, Sinta tak menyangka kalau posisi
ketua yang selama ini disandangnya, ternyata akan diserahterimakan kepada
Brian. Ya, Brian yang wajahnya mirip dengan Nico itu. Meskipun baru beberapa
hari mengenalnya tapi sepintas Sinta bisa menilai kalau Brian dapat menerima
tanggung jawab ini dengan baik.
Malam harinya,
serah terima jabatan antara ketua yang lama dengan ketua yang baru pun
dilaksanakan. Semua rangkaian acara berjalan dengan sangat baik. Ada perasaan aneh yang
tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, ketika Sinta berdiri tepat di samping
Brian. Jarak mereka yang begitu dekat seperti mempertemukan dua magnet yang
berbeda, sehingga ada daya tarik-menarik dalam diri masing-masing.
Dari pertama kali
masuk sekolah ini, Brian sudah banyak mendengar sepak terjang Sinta di sekolah.
Selain cantik dan berbakat di bidang seni dan olahraga, dia juga jago soal
pelajaran. Wajar, Sinta jadi kebanggaan sekolah ini.
“Selamat ya,
semoga tugas berat ini sanggup kamu laksanakan dengan baik,” Sinta menjabat
tangan Brian.
“Terima kasih,”
hanya itu yang bisa keluar dari mulut Brian. Tentu saja ditambah dengan
senyuman termanisnya, untuk cewek yang selama ini jadi lakon dalam mimpi-mimpi
indahnya.
Malam ini, semua
siswa harus benar-benar istirahat, hal ini untuk persiapan fisik dan mental
mereka, mengikuti rangkaian acara esok harinya. Tapi toh ada juga yang
melanggar kesepakatan yang sudah ditentukan. Terutama anak-anak cowok yang
lebih memilih menghabiskan malam di tepi pantai.
Sinta dan Ardi
yang mengetahui hal ini, sepakat untuk memberikan sanksi pada beberapa anak
laki-laki, yang tidak patuh pada peraturan yang berlaku. Akan ada kejutan untuk
para juniornya besok.
Re: I Love U Seniorita
Pagi itu, dengan sedikit tergesa, Brian menghadap para
senior yang menyambut kedatangannya dengan muka tegang.
“Bagaimana ini
ketua yang baru! Apa tidak bisa kamu bersikap tegas pada teman-temanmu?” Sinta
menatap tajam ke arah Brian.
“Maaf Kak, tapi
ini masih wajar dan biasa dilakukan oleh teman-teman, sekaligus menjaga
keamanan perkemahan kan?”
Brian berusaha membela teman-temannya.
“Tapi tidak harus
dengan main kartu kan?”
Ardi menambahkan.
“Saya bisa jamin
teman-teman tidak melakukannya,” Brian masih teguh pada pendiriannya.
“Sekarang
kumpulkan teman-temanmu! Kita kaji ulang, apa kamu benar-benar pantas jadi ketua
mereka?” ucap Sinta kemudian. Brian jadi sedikit dongkol pada Sinta, yang
begitu ketus dan galak cara bicaranya. Tapi toh dia harus mengakui kalau Sinta
adalah seniornya.
Semua peserta
Persami sudah berkumpul di tengah-tengah lapangan bumi perkemahan.
“Hari ini kalian
akan menjalankan berbagai kegiatan yang cukup memforsir fisik dan mental.
Tujuannya agar kalian bisa bersatu dengan alam… bla… bla….” Sinta memberi
arahan dengan penuh wibawa. “Sekali lagi saya tanyakan, apa benar kalian tidak
salah pilih karena telah menunjuk Brian menjadi pemimpin kalian?” Sinta
terlihat dingin. “Kalian tahu, hari ini ketua kalian telah menunjukkan
ketidakmampuannya dalam memimpin kalian. Bahkan, sekarang, ada petugas dari
kepolisian yang akan membawa salah satu dari kalian karena telah dianggap
melakukan perbuatan kriminal, semalam. Dan anehnya, ketua kalian tidak
mengetahuinya. Ada
dari kalian yang akan jujur mengakui kesalahannya sendiri!” Sinta masih
menunggu respon para juniornya. Anak-anak semua saling pandang. Mereka saling
tanya, dan mengharap salah satu dari teman yang merasa salah, untuk maju
menemui Sinta.
“Baik, kalau tidak
ada yang mengaku. Maka yang akan jadi jaminan atas peristiwa semalam adalah
Brian, sebagai ketuanya,” ujar Ardi, mulai berdiri di tengah lapangan. Brian
terperanjat tapi dia berusaha bersikap tenang.
“Baik kalau memang
itu sudah menjadi tanggung jawab saya pada teman-teman, saya rela,” Brian
melangkah menemui para senior yang berbaris di depan.
Beberapa anak
berbicara riuh rendah. Mereka tak rela melihat Brian dibawa petugas kepolisian.
Beberapa siswi bahkan ada yang menangis. Sebagai rasa solidaritas, ada beberapa
siswa yang menghadang kepergian Brian menuju mobil polisi.
“Teman kami tidak salah, Pak! Tolong jangan bawa dia. Kami
akan mencari pelaku sebenarnya, Pak!” banyak ucapan-ucapan dari rekan-rekan
Brian, untuk bisa menahannya. Tapi toh polisi tetap membawanya juga. Begitu
mereka naik di mobil polisi. Salah satu petugas membuka borgol di tangan Brian.
“Anda lulus dari
uji mental sebagai ketua….” ucapan pak polisi barusan sontak membuat
teman-temanya kaget sekaligus gembira.
“Di antara kalian
tidak ada yang melakukan kesalahan, ini semua hanya salah satu permainan yang
dibuat oleh senior kalian,” ucap pak polisi, yang sedikit banyak membuat
beberapa teman Brian menaruh rasa kesal pada Sinta sebagi ketua senior.
Sebagai
balasannya, beberapa siswa lainnya, beramai-ramai menggotong tubuh Sinta dan
menceburkanya ke pantai. Sinta yang tak siap dengan keadaan, tentu saja
kelabakan. Semua peserta Persami tertawa puas.
“Tega banget sih
kalian!” Sinta mencoba berenang ke tepian. Brian justru orang yang paling
pertama yang berusaha menolongnya. Diulurkannya tangan untuk menarik sinta dari
dalam air. Semua teman-temannya menyoraki. Tapi Brian tak perduli.
“Lebih baik kamu
cepat ganti baju, nanti masuk angin,” ujar Brian. Baru saja Sinta mendekati
bibir pantai, tiba-tiba ada sesuatu yang menusuk kakinya.
“Ah!!” badannya
terjerembab lagi ke air. Banyak darah yang keluar dari telapak kakinya. Brian
terlihat panik, dengan sigap dia membopong tubuh sinta ke dalam tenda. Beberapa
senior yang lain segera membawa peralatan P3K. Sinta hanya diam, sesekali dia
meringis kesakitan. Sinta sempat melihat Brian begitu sigap mengurus semua
sebelum akhirnya dia terkulai pingsan. Rupanya ada cangkang kerang yang menusuk
dan membuat telapak kaki Sinta robek cukup lebar.
***
“Thanks, ya, sudah
nolongin aku,” ucap Sinta pada Brian, di malam terakhir Persami. Mereka duduk
bersisian melingkari hangatnya api unggun.
“It’s not a big
deal. Masih sakit?” Brian masih tampak khawatir dengan luka pada kaki Sinta.
Entah kenapa perasaannya begitu hangat karena Sinta duduk di dekatnya. Dia
menatap wajah sang senior dengan lembut.
“Kamu cantik,”
katanya pelan. Entah mendapat keberanian dari mana, dia membenahi rambut-rambut
yang beterbangan tertiup angin di seputar wajah Sinta. Tatapan mereka beradu. Ada binar-binar cinta
yang terpancar dari keduanya. “Boleh Aku jatuh cinta pada senior hebat seperti
kamu?” Brian berbisik lembut ke telinga Sinta. Sesaat Sinta hanya terpaku diam,
lalu kemudian menganguk dan tersipu malu. Tak ada kata yang sanggup
diucapkannya.
senior yang menyambut kedatangannya dengan muka tegang.
“Bagaimana ini
ketua yang baru! Apa tidak bisa kamu bersikap tegas pada teman-temanmu?” Sinta
menatap tajam ke arah Brian.
“Maaf Kak, tapi
ini masih wajar dan biasa dilakukan oleh teman-teman, sekaligus menjaga
keamanan perkemahan kan?”
Brian berusaha membela teman-temannya.
“Tapi tidak harus
dengan main kartu kan?”
Ardi menambahkan.
“Saya bisa jamin
teman-teman tidak melakukannya,” Brian masih teguh pada pendiriannya.
“Sekarang
kumpulkan teman-temanmu! Kita kaji ulang, apa kamu benar-benar pantas jadi ketua
mereka?” ucap Sinta kemudian. Brian jadi sedikit dongkol pada Sinta, yang
begitu ketus dan galak cara bicaranya. Tapi toh dia harus mengakui kalau Sinta
adalah seniornya.
Semua peserta
Persami sudah berkumpul di tengah-tengah lapangan bumi perkemahan.
“Hari ini kalian
akan menjalankan berbagai kegiatan yang cukup memforsir fisik dan mental.
Tujuannya agar kalian bisa bersatu dengan alam… bla… bla….” Sinta memberi
arahan dengan penuh wibawa. “Sekali lagi saya tanyakan, apa benar kalian tidak
salah pilih karena telah menunjuk Brian menjadi pemimpin kalian?” Sinta
terlihat dingin. “Kalian tahu, hari ini ketua kalian telah menunjukkan
ketidakmampuannya dalam memimpin kalian. Bahkan, sekarang, ada petugas dari
kepolisian yang akan membawa salah satu dari kalian karena telah dianggap
melakukan perbuatan kriminal, semalam. Dan anehnya, ketua kalian tidak
mengetahuinya. Ada
dari kalian yang akan jujur mengakui kesalahannya sendiri!” Sinta masih
menunggu respon para juniornya. Anak-anak semua saling pandang. Mereka saling
tanya, dan mengharap salah satu dari teman yang merasa salah, untuk maju
menemui Sinta.
“Baik, kalau tidak
ada yang mengaku. Maka yang akan jadi jaminan atas peristiwa semalam adalah
Brian, sebagai ketuanya,” ujar Ardi, mulai berdiri di tengah lapangan. Brian
terperanjat tapi dia berusaha bersikap tenang.
“Baik kalau memang
itu sudah menjadi tanggung jawab saya pada teman-teman, saya rela,” Brian
melangkah menemui para senior yang berbaris di depan.
Beberapa anak
berbicara riuh rendah. Mereka tak rela melihat Brian dibawa petugas kepolisian.
Beberapa siswi bahkan ada yang menangis. Sebagai rasa solidaritas, ada beberapa
siswa yang menghadang kepergian Brian menuju mobil polisi.
“Teman kami tidak salah, Pak! Tolong jangan bawa dia. Kami
akan mencari pelaku sebenarnya, Pak!” banyak ucapan-ucapan dari rekan-rekan
Brian, untuk bisa menahannya. Tapi toh polisi tetap membawanya juga. Begitu
mereka naik di mobil polisi. Salah satu petugas membuka borgol di tangan Brian.
“Anda lulus dari
uji mental sebagai ketua….” ucapan pak polisi barusan sontak membuat
teman-temanya kaget sekaligus gembira.
“Di antara kalian
tidak ada yang melakukan kesalahan, ini semua hanya salah satu permainan yang
dibuat oleh senior kalian,” ucap pak polisi, yang sedikit banyak membuat
beberapa teman Brian menaruh rasa kesal pada Sinta sebagi ketua senior.
Sebagai
balasannya, beberapa siswa lainnya, beramai-ramai menggotong tubuh Sinta dan
menceburkanya ke pantai. Sinta yang tak siap dengan keadaan, tentu saja
kelabakan. Semua peserta Persami tertawa puas.
“Tega banget sih
kalian!” Sinta mencoba berenang ke tepian. Brian justru orang yang paling
pertama yang berusaha menolongnya. Diulurkannya tangan untuk menarik sinta dari
dalam air. Semua teman-temannya menyoraki. Tapi Brian tak perduli.
“Lebih baik kamu
cepat ganti baju, nanti masuk angin,” ujar Brian. Baru saja Sinta mendekati
bibir pantai, tiba-tiba ada sesuatu yang menusuk kakinya.
“Ah!!” badannya
terjerembab lagi ke air. Banyak darah yang keluar dari telapak kakinya. Brian
terlihat panik, dengan sigap dia membopong tubuh sinta ke dalam tenda. Beberapa
senior yang lain segera membawa peralatan P3K. Sinta hanya diam, sesekali dia
meringis kesakitan. Sinta sempat melihat Brian begitu sigap mengurus semua
sebelum akhirnya dia terkulai pingsan. Rupanya ada cangkang kerang yang menusuk
dan membuat telapak kaki Sinta robek cukup lebar.
***
“Thanks, ya, sudah
nolongin aku,” ucap Sinta pada Brian, di malam terakhir Persami. Mereka duduk
bersisian melingkari hangatnya api unggun.
“It’s not a big
deal. Masih sakit?” Brian masih tampak khawatir dengan luka pada kaki Sinta.
Entah kenapa perasaannya begitu hangat karena Sinta duduk di dekatnya. Dia
menatap wajah sang senior dengan lembut.
“Kamu cantik,”
katanya pelan. Entah mendapat keberanian dari mana, dia membenahi rambut-rambut
yang beterbangan tertiup angin di seputar wajah Sinta. Tatapan mereka beradu. Ada binar-binar cinta
yang terpancar dari keduanya. “Boleh Aku jatuh cinta pada senior hebat seperti
kamu?” Brian berbisik lembut ke telinga Sinta. Sesaat Sinta hanya terpaku diam,
lalu kemudian menganguk dan tersipu malu. Tak ada kata yang sanggup
diucapkannya.
:: Perpustakaan :: MySide :: Chicken Soup
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik